Kamis, 31 Januari 2008

PROBLEMATIKA KURIKULUM :

Aly Masyhar

Pendidikan adalah salah satu sarana pengembangan potensi diri manusia untuk memberikan bekal-bekal kehidupan daripadanya. Untuk memenuhi bekal hidup yang relevan dan use full bagi manusia, proses pendidikan tersebut haruslah mutu dan histories. Dalam arti pendidikan tersebut harus sesuai dengan konteks dimana manusia itu tinggal. Jika tidak maka proses pendidikan tersebut tak akan memberikan manfaat apa-apa baginya. Bahkan malah membuat manusia tersebut bak keledai yang tersesat dalam lingkungannya sendiri. Dia tidak tahu apa yang harus ia perbuat dalam hidup dan lingkungannya. Hal yang terakhir inilah biasanya di sebut dengan a-historisitas.

Fenomena di atas bisa kita cross chek langsung pada kenyataan hari ini yang, menurut penulis, kurikulumnya cenderung a-historis. Meskipun pemerintah sudah menganjurkan untuk diberi waktu lumayan banyak untuk kurlok, namun dalam kenyataannya , kurlok tersebut lebih cenderung di masuki atau di gunakan untuk mengenalkan potensi-potensi daerah secara umum, lebih jelasnya adalah budaya dominan. Dan hal ini wajib diketahui oleh seluruh siswa. Kita tahu sendiri, bahwa setiap siswa mempunyai bakat, minat dan latar belakang sendiri-sendiri, maka tidak bisa di tungalkan sebagimana di atas.

Kembali ke pembahasan a-historis, ketika penulis pulang kerumah penulis pernah dikeluh kesahi oleh orang tua seorang mahasiswa salah satu Universitas bergengsi di Kediri. Dia mengatakan dengan wajah yang sedih dan heran, katanya " nyapo yo ?, sak wise anakku kuliah kok koyo-koyo ora ngerti penggaean ngomah, koyo-koyo wis ora weruh, terus sak jane kuwi kan sumber biaya kanggo awake kuliah ?". "kenapa ya ?, setelah anak saya kuliah kok seakan-akan sudah tidak tahu dengan pekerjaan yang ada di rumah, maksudnya pekerjaan sehari-hari yang nota benenya dia adalah anak seorang petani, seakan-akan sudah tidak tahu, terus kemudian sebenarnya pekerjaan itu kan sumber biaya untuk kuliah dia ? ". dari fenomena ini muncul dua kemungkinan, pertama, karena memang anknya memang bandel, kedua, karena memang pengaruh kurikulum dan sosiologi kampusnya yang a-historis.

Untuk mengecek kemungkinan pertama, penulis sering bersama anak orang tua itu dan sedikit meneliti dan mendapatkan keterangan bahwa anaknya di kampus tergolong anak yang cerdas dan rajin, bahkan dia kurang memperhatikan kegiatan-kegiatan ekstra kampus karena memberatkan masalah kuliahnya. Maka keadaan ini sudah bisa mementahkan kalau masalah kepribadian anaknya tersebut sebagai penyebab terjadinya ketercerabutan dia dari lingkungan keluarga dan lingkungannya. Selain itu fenomena ini juga mengerucutkan pada kemungkinan kedua, yaitu masalah kurikulum dan sosiologi kampus yang a-historis.

Kedua, kurikulum dan sosilogi kampus yang a-historis tidak lain adalah Kurikulum-kurikulum yang diberikan tidak pernah berkaitan langsung dengan dunia mahasiswa itu sendiri, atau ada kaitannya tetapi tidak di sentuhkan langsung pada kenyataannya . kita tahu bahwa tradisi kampus kita, Indonesia, dalam hal kurikulum atau mata kuliah, lebih cenderung menekankan pada ranah kognitifnya dari pada yang lain dan juga lebih cenderung melangit dalam angan-angan belaka. Selain itu juga tak pernah menghadapkan dan menyentuhkan mahasiswa secara langsung dengan masyarakat nyata, ada memang yaitu KKN dan PPL atau Praktikum, tetapi hal itu hanya sebentar dan lebih di tekankan pada pencarian nilai belaka , jadi mengakibatkan focus mahasiswa hanya tertuju pada nilai tersebut, bukan pada hal substansi diadakannya KKN atau praktek lapangan. Dengan focus nilai, kurikulum yang melangit apalagi di tambah dengan sosiologi kampus yang hedonis, maka tidak heran kalau nantinya melahirkan mahasiswa-mahasiswa sebagimana sample diatas.

Hipotesa awal kami, Dengan historisitas, pendidikan yang mempunyai landasan histories dan sesuai dengan lingkungan dimana pendidikan tersebut diselenggarakan, kemungkinan besar yang terjadi adalah manusia tersebut bisa memanfaatkan apa yang ada dalam lingkungannya sekaligus merasa memilikinya. Jika seseorang sudah merasa memilki maka ia akan berusa sekuat tenaga untuk menjaga, memanaatkan dan mengembangkannya. Bukankah hal ini adalah salah satu tujuan diadakannya pendidikan ?.

Written on 14 Des. 2007.

By : Aly Masyhar

Tidak ada komentar: