Jumat, 28 Desember 2007

di setiap awal tahun pengajaran di setiap kampus atau sekolah formal lainnya pasti diadakan suatu kegiatan khusus bagi mahasiswa - mahasiswa baru untuk lebih mengenal kampus yang akan mereka tempati untuk menumpu ilmu. proses kegiatan ini dinamai dengan OSPEK, Orientasi Study Pengenalan Kampus, atau mungkin kalau di sekolah setingkat SMA atau SLTP biasanya di sebut dengan MOS, Masa Orientasi Siswa.
dengan tradisi sebagaimana diatas, kampus Institut Agama Islam Tribakti Kediri, bulan kemarin tepatnya bulan september awal menggelar prosesi OSPEK tersebut. OSPEK kali ini bertemakan "mengembalikan peran mahasiswa di Indonesia".
OSPEK, di institut ini memang tidak diwajibkan, jadi hanya bagi mahasiswa baru yang mau mengikuti saja. dan OSPEK kali ini diikuti oleh sekitar 60 Mahasiswa dari sekitar 150 mahasiswa baru.

Selasa, 25 Desember 2007

teater adalah salah satu seni perlawanan yang mulai muncul pada masa romawi kuno. oleh karena latar belakang itu, kami, mahasiswa Tribakti Kediri, mendirikan suatu UKM Teater yang bernama GOESTY. hal ini dimaksudkan, selain untuk belajar memaknai diri, juga supaya bakat-bakat seni mahasiswa bisa terwadai dan tersalurkan.
GOESTY adalah kepanjangan dari 'Goegoesan Orang Estetika Tribakti' dengan filosofis, bahwa kita hidup di dunia ini harus selalu ingat pada Gusti kang Moho Agung lan Kang Nyipto alam, Allah.
dalam UKM ini, selain teatrikal, juga di wadahi kreasi-kreasi seni yang lainnya, semisal musik, puisi, lukis, dan mapala. tetapi tidak menutup kemungkinan kesemua itu di desain sedemikian rupa menjadi satu.

Minggu, 16 Desember 2007

Gak Mesti Klasikal

H Ahmad Syaukani Arsyad
Kepsek SMA Islam Sabilal Muhtadin

KEGIATAN belajar itu gak harus selalu kita lakukan dengan sistem klasikal di ruang kelas saja. Banyak tempat-tempat lain yang lebih menarik bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar, seperti lapangan, di taman atau lingkungan lain di sekitar sekolah.

Upaya melakukan pembelajaran di tempat tersebut dimaksudkan agar siswa tidak merasa jenuh dengan kondisi belajar yang sering mereka hadapi, sehingga mereka akan senantiasa tetap bersemangat menerima semua materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Tanpa mengurangi manfaat gedung sekolah, sistem belajar di tempat terbuka bisa dibilang cukup bagus demi meningkatkan kualitas belajar siswa. Siswa tidak lagi melakukan sistem pembelajaran seperti zaman dulu, yaitu datang ke sekolah, kemudian duduk rapi dengan tangan di atas meja, lalu mendengarkan apa yang guru mereka sampaikan.

Sistem belajar sekarang zamannya sudah lain. Di mana pun tempat yang sekiranya sesuai keinginan dan manfaat belajar siswa, di situlah posisi yang tepat bagi kita untuk melakukan KBM (kegiatan belajar mengajar). Bahkan kalau memang perlu tambahan hiburan musik, itu pun bukan suatu hal yang negatif untuk kita lakukan.

Di SMA Islam Sabilal Muhtadin, misalnya, sekarang sudah dilengkapi satu buah unit televisi dan VCD dalam setiap kelasnya. Tujuannya agar guru mampu melakukan berbagai macam variasi metode pembelajaran, sehingga siswa tidak jenuh menghadapi semua materi yang mereka sampaikan.

Sebagai guru, kami memang selalu berusaha semaksimal mungkin menjaga semangat belajar siswa di skul. Tapi, jika di rumah, semua kita kembalikan pada kondisi, selera dan karakter siswa yang bersangkutan. Tidak semua anak suka belajar sambil mendengarkan musik, tapi tidak semua anak pula yang suka belajar dalam kondisi ruangan yang tenang dan sepi. Jadi semua tergantung selera masing-masing.

Hal terpenting dalam proses belajar adalah rutinitas belajar itu sendiri. Sebanyak apa pun waktu yang disediakan seorang anak dalam satu kali belajar, tapi kalau dia jarang melakukanya, bisa dipastikan dia kurang mampu menguasai suatu materi pelajaran. Tetapi kalau dia sering belajar, entah itu baca buku sambil jalan, atau mungkin belajar setelah bangun tidur, dan belajar sebentar sehabis bermain, semuanya ini akan lebih mengingatkan dia pada suatu pelajaran.

Tidak perlu banyak waktu yang harus disediakan. Minimal lima belas sampai tiga puluh menit, dan bisa rutin dilakukan, saya rasa ini merupakan cara yang efektif untuk meraih keberhasilan dalam belajar siswa.mgc

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Sang Pemimpin Harus Berada di Bawah Kaki Rakyatnya !


“Tasharufu al imam ‘ala ro’iyatihi manuthun bil mashlahah”

Tashorufnya seorang pemimpin tergantung atau berdasarkan pada kesejahteraan rakyat yang dipimpinya (adagium qoidah fiqih)

Aly Masyhar*

Text Box: Ketika palu penetapan sebuah kekuasaan dibunyikan, maka pada saat itulah amanah yang diberikan harus dipikulnya. Dan saat itu pula dia menjadi seorang pemimpin bagi dirinya, organ-organ organisasinya dan rakyatnya. Hal ini jika dikaitkan dengan domain kekuasaan, baik Negara maupun sebuah organisasi. Oleh karena dia menjadi seorang pemimpin tersebut, maka dia harus bisa mulai membuang seluruh kaca mata rasis dan etnisnya. Dengan arti dia harus komprehensif dalam memandang sesuatu yang dia hadapi, tidak boleh memihak salah satunya.

Dengan itu maka seorang pemimpin tersebut baru bisa dikatakan dia telah melakukan adagium yang sering di kutip dan juga telah lama dirumuskan oleh para ulama fiqih sebagaimana yang telah kami cantumkan di atas. Dan memang seperti yang terumuskan dalam adagium qowaidul fiqhiyah itulah substansi tujuan diadakan dan dipilihnya seorang pemimpin dalam suatu komunitas organisasi. Konsekwensinya, jika seorang pemimpin sudah tidak sejalan dengan adagium di atas, maka dia sudah tidak layak menjadi dan disebut sebagai pemimpin. Wal hasil maka dia harus rela dan legowo jika nantinya diturunkan oleh rakyatnya ditengah-tengah masa jabatannya. Dan pastinya dasar yang digunakan juga harus jelas pula, supaya tidak terjadi penghakiman yang nista.

Mengingat hal ini, penulis ingat dengan pengorbanan dan ketabahan Nabi Ibrahim As beserta anaknya, Nabi Isma'il As., yang sejarahnya kita kenang hingga sekarang dengan bungkus ritual I'dul Qurban (I'dul Adlha), disitu, Nabi ibrahim As. Harus rela anak satu-satunya disembelih, hal ini ia lakukan karena perintah Allah SWT., kita tahu bahwa , Nabi Ibrahim sangat menyayanginya, sebab, selain dia adalah anak satu-satunya, nabi Ibrahim kala itu juga sudah masuk usia senja, yang menurut akal tidak mungkin mempunyai anak lagi. Kendatipun demikian, karena hal itu adalah perintah Allah, Nabi Ibrahim As., begitupun Nabi Isma'il As., tetap melaksanakannya meskipun dengan hati yang berat.

Kemudian hal kesamaannya dengan pembahasan awal ialah, pertama, kedua-duanya (Nabi Ibrahim As. dan pemimpin) sama mendapat amanah yang sangat berat. Nabi Ibrahim mendapat amanah untuk menyembelih anaknya, sedangkan sang pemimpin mendapat amanah untuk memimpin umatnya dengan cara yang komprehensif. Kedua, Nabi Ismail As, mau tidak mau dia harus rela dan pasrah menyerahkan nyawanya diminta oleh sang empu-nya, Allah SWT., dan begitupun seharusnya seorang pemimpin, dia harus rela jika suatu saat jabatannya diminta kembali (dilengserkan) oleh empu-nya juga, Rakyat. Wallahu a'lam bi shohihi hikmatihi.

Dalam pembahasan di atas, terdapat permasalahan yang sering muncul dan diperebutkan definisinya, yaitu masalah Maslahah Al 'Ammah (kesejahteraan rakyat) itu sendiri. Di sinilah sebenarnya tonggak awal sering terjadinya perbedaan yang kemudian menimbulkan penilaian negatif terhadap pemimpinnya dan kadang ber-Ending pada perpecahan dan kehancuran. Maka dari itu perlu kiranya kita mencari kefahaman bersama tentangnya jika kita menginginkan sebuah keharmonisan dan kesejahteraan bersama yang hakiki dalam berorganisasi maupun bernegara. Kalau kita selalu mengikutkan ego dan perspektif kita masing-masing, maka mustahil adanya akan mendapatkan kesejahteraan bersama sebagaimana yang sudah lama menjadi impian kita bersama tersebut, yang muncul ialah sebaliknya, saling klaim dan saling menghancurkan satu sama lainnya. Dalam hati, penulis yakin pastinya kita tidak menginginkan hal itu, iya kan ?

Sebagaimana yang diutarakan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam salah satu bukunya yang berjudul Islamku, , Islam Anda, Islam Kita, Kesejahteraan umum ialah terpenuhinya semua hak rakyat yang dipimpinya, baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi, hokum, hingga kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Hal ini terlepas dengan menggunakan system apa pemimpin tersebut mampu mewujudkannya. System imperium katakanlah, yang cenderung dictator, kalau mampu mewujudkan misi tersebut tidak masalah kata mantan ketua PBNU sebelum K.H. Hasyim Muzadi tersebut. Masih dalam koredor pendapat Gus Dur, bahwa sebenarnya islam tidak memerintah ataupun menolak sebuah system apapun dalam bernegara atau berorganisasi, namun yang diperintahkan islam ialah bagaimana seorang pemimpin tersebut mampu mewujudkan maslahah ‘ammah bagi rakyat yang dipimpinya, sebab disinilah substansi keberadaannya.

Sulit memang menjadi pemimpin se-ideal sebagimana di atas, sebab ia harus bergesekan dan berbenturan dengan tradisi 'timbal balik' yang telah mengakar dan bahkan sudah mendarah daging di negeri kita. Hal ini terkait dengan keharusan seorang pemimpin untuk membuang jauh-jauh kaca mata rasis dan etnisnya.

Untuk mempermudah pemahaman terma 'timbal balik' tersebut, di sini kami misalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia di antarkan ketampuk kekuasaan kepresidenan oleh gerbong partai politik Demokrat, setelah dia berhasil jadi presiden, maka dia harus memberikan hak prevellis kepada birokrat-birokrat atau partai Demokrat tersebut, bahkan, yang sangat ironis, ketika akan mengambil suatu kebijakan yan berkenaan dengan masalah public dia harus sowan ke partai meminta pendapat, dan pastinya kebijakan tersebut dilihat terlebih dahulu bahwa memihak pada kepentingan mereka atau tidak. Kalau sesuai diizinkan kalau tidak ya ..di delete. Hal ini tanpa melihat kebijakan tersebut untuk kepentingan umum atau tidak. Kemudian kalau kita sejajarkan dengan adagium qowaidul fiqhiyah “tashorufu al imam ‘ala ro’iyatihi manuthun bil mashlahah”, maka missal tersebut sudah tidak sejalan, yang pertama menitik beratkan pada kepentingan umum dan yang kedua mementingkan kepentingan golongan. Dengan arti, seorang pemimpin harus berani melepas ikatan-ikatan tersebut dan mendudukkan rakyatnya pada timbangan yang sama, terlepas mereka berasal dari golongannya atau bukan.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus dengan lapang dada menerima kritik-kritik yang datang dari rakyat yang dipimpinya, , baik kritik yang dilontarkanya tersebut ialah kritik yang membangun atau tidak. Sebab, kalau kita mau teliti, semua kritik yang dilontarkan oleh orang lain kepada kita ialah koreksi bagi perbuatan kita. Sebagimana yang di telah diyakini oleh kaum haqiqiyah, bahwa semua yang muncul dihadapan kita ialah sebuah kemunculan dari diri kita sendiri. Dalam arti semua kejadian tersebuat ialah sebab musabab perbuatan kita. Baik itu yang bersifat pembalasan maupun pengingatan Tuhan bagi kita.

Di samping dipihak pemimpin harus sebagimana diutarakan diatas, kalau kita menginginksn keharmonisan dan kesejahteraan di organisasi atau Negara kita tercapai, pihak rakyat juga harus tahu dan memenuhi semua kewajibannya. Dengan arti rakyat tidak hanya melulu menuntut haknya namun juga harus mengimbangi dengan memenuhi semua kewajibannya. Semisal dalam organisasi kampus Tribakti, seluruh pengurus OMAK, baik pengurus BEM-F, BEM-I, UKM, MPM maupun pengurus tingkat KOSMA, harus mengarahkan seluruh kebijakannya kepada kepentingan Mahasiswa yang dipimpinya tanpa melihat dari mana dan apa bigronnya, selagi dia adalah mahasiswa Tribakti, maka dia berhak mendapatkan haknya sebagai mahasiswa. Begitu juga, pihak mahasiswa juga harus memenuhi kewajibannya, antara lain yaitu mengikuti semua kegiatan yang diadakan oleh pihak pengurus OMAK (Organisasi Mahasiswa dan Kemahasiswaan) Tribakti tersebut. Hal ini sebagimana timbal- baliknya Nabi ibrahim dengan Tuhan-nya, Allah SWT. Nabi Ibrahim As meminta anak Allah ijabahi, kemudian Allah meminta menyembelih anaknya itu Nabi Ibrahim As. juga melaksanakannya.

Dari seluruh ulasan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kalau kita menginginkan keharmonisan dan kesejahteraan rakyat (mahasiswa) bisa tercapai sebagimana yang kita impikan, maka antar kedua pihak, Pemimpin dan Rakyat, harus bisa memenuhi semua hak dan kewajibannya. Dan hal ini akan sulit terwujud jika antar keduanya masih belum bisa membuang jauh-jauh kaca mata rasis dan politisnya. wallahu A'lam bis showab

Mampukah kita ?

Wallahu Istaqimna Waqwiina Amin.

Written on Jum'at 23 November 2007

* Wapres BEM-I IAIT, dan mahasiswa , meskipun masih malu disebut dengan sebutan itu karena merasa tidak pantas menyandangnya, semester VII fak. Tarbiyah.

DUA PARADIGMA POLITIK DI INDONESIA


Isu formalisme syari’at islam yang tetap hangat hingga kini sebenarnya bukan hal asing lagi di negri Indonesia kita ini. Mulai dari awal berdirinya Negara, isu ingin menjadikan syari’at islam sebagai dasar Negara sudah banyak muncul. Hal ini ditandai dengan adanya piagam Jakarta yang disitu mencantumkan kewajiban melakukan syari’at islam bagi yang muslim dan juga ditandai dengan ngototnya DI/TII pimpinan kartosuwiryo, Permesta pimpinan Kahar Muzakkar dan ormas-ormas senada lainnya pada waktu itu. Kesemuannya tadi menginginkan syari’at islam menjadi dasar Negara dan menolak pancasila. Kemudian golongan inilah yang nantinya disebut dengan aliran politik yang menggunakan paradigma Eksekutif-Formalistik. Paradigma yang mempunyai keyakinan bahwa islam adalah ad Din wa ad Daulah, islam sudah mengatur segalannya, baik dari segi prilaku hingga ke permasalahan politik (Negara). Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah Negara yang berbentuk kekholifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di madinah dan juga para khulafaurrosyidin pada kurun setelahnya..

Di samping paradigma ini, paradigma Eksekutif Formalistik, lahir juga paradigma antitesanya, yaitu paradigma Substantif Inklusifistik. Yang terakhir ini menginginkan substansi dari syari’at islam yang diberlakukan, bukanya memformalkannya. Dengan kata lain yang diambil dan diberlakukan di Indonesia ini hanya inti kandungan syari’atnya saja (Kepemerintahan).

Kemudian Bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at islam, paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada system kulturalisasi, biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui pensisteman sebagaimana yang di perjuangkan oleh kaum Eksekutif Formalistik. Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom Up, berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma Eksekutif Formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem Negara. Yang terakhir ini Semisal dengan adanya Perda tentang Pornografi, Berkewajiban menggunakan jilbab dan belajar al-Qur’an yang telah terjadi di propinsi Banten, sebagian daerah di Sumatra dan baru-baru ini di Kediri juga muncul isu sebagimana diatas yang diprakarsai oleh salah satu organisasi kemahasiswaan[1].

Dari uraian diatas maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, namun sebelumnya kami tegaskan bahwa penulis berada dipihak Paradigma Substantif – Inklusifistik, jadi perspektif yang kami gunakan tidak jauh dari keperpihakan kami.pertanyaan-pertanyaan antara lain yaitu Pertama, Sebenarnya efek apa yang akan ditimbulkan oleh adanya formalisasi syari’at islam dalam system Negara ?. Kedua, Menurut perspekrif paradigma Substantif-Inklusif, siapa yang akan mengurus masalah agama ? dan Apa tugas pemerintah dalam hubungan ini ?

Sebenarnya efek apa yang akan ditimbulkan oleh formalisasi syari’at islam ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Negara Indonesia kita ini adalah Negara hokum, bukannya Negara Islam. Selain itu masyarakat yang hidup didalamnyapun adalah majmuk, baik dari segi budaya, adat istiadat maupun agama dan keyakinan. Maka dari itu jika saja salah satu hokum yang dipunyai salah satu agama diantara agama-agama tersebut dijadikan dasar Negara, maka dengan pastinya umat agama-agama yang lainnya akan menjadi masyarakat nomer dua dan umat dari agama yang diambil dijadikan dasar Negara akan menjadi umat yang mendapatkan hak prefelis dan juga akan terjadi dominasi baik agama, golongan maupun aliran yang sarat dengan penghakiman pada yang lainnya. Siapa yang memegang kekuasaan, maka agama atau aliran yang mereka anutlah yang benar. Yang bertentangan dengan itu dianggap salah. Ingin lebih jelas dan contoh tentang masalah hal ini bisa kita lihat sejarah islam pada masa dinasti Umaiyyah atau Abassyiyah..

Selain itu, menurut jumhur ulama’ termasuk didalamnya Ibnu Taimiyah, menyatakan bahwa dalam islampun ternyata tidak ada dalil sorih yang menunjukkan pada kewajiban mendirikan sebuah bentuk Negara (Kholifah). Yang ada adalah bagaimana syari’at islam tersebut bisa terlaksana tanpa ada kekangan. Memang, dari telusuran histories, Nabi pernah mempraktekkan sebuah system kepemerintahan yang berbentuk kekholifahan di Madinah dan diteruskan oleh empat shohabat setelahnya, namun kalau kita telususri lebih dalam ternyata tujuan atau substansi dari pendirian kepemerintahan itu adalah bukan Negara itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana peradaban umat islam kala itu bias maju dan juga, masih dalam tataran histories, pada masa khulafaurrasyidin system kepemerintahannya anatra periode satu kholifah dengan yang lainnya tidak persis sama, tetap ada perbedaan. Semisal system pemilihan kholifah, pada masa pengangkatan Abu Bakar menggunakan system musyawarah, pada masa pengangkatan Umar Bin Khottob menggunakan system penunjukan dan pada masa pengangkatan Utsman bin Affan menggunakan system Pansus (Musyawarah Perwakilan[2]). Maka dari itu kesimpulannya adalah bukan pembuatan Negara yang wajib dilakukan, namun lebih pada bagaimana membuat keadaan umat islam bias lebih maju. dan hidup sejahtera.

Menurut perspektif paradigma Substantif-Inklusif, siapa yang bertugas untuk menjaga keberlangsungan syariat kalau bukan Negara ?

Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif, bahwa urusan agama biarlah berjalan secara cultural, maka yang bertugas menjaga keberlangsungan syari’at islam adalah umat islam itu sendiri, terutama para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya. Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri dan ulamanya, bukan orang lain !, apalagi Negara !, selain ia tidak bertatap muka secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan individu dan golongan.

Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagi penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain Negara hanya mengurus Sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan public saja, bukan ikut campur dalam masalah prifat.

Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif dalam hubungan Agama dengan Negara adalah bagaimana antara Ulama dan Pemerintah (Agama dan Negara) bias saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurus bagaimana moral umat/rakyat baik, kemudian pemerintah mengurus dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bias tercapai. Kemudian Kalaupun memang pemerintah terpaksa harus menggunakan suatu aturan/hokum dalam mewujudkan tugasnya tersebut, maka aturan/hokum tersebut harus didasarkan pada kesepakatan dan historisitas Negara Indonesia. Istilah ini kalau dihubungkan dengan islam adalah sering diistilahkan dengan istilah Islam Indonesia, bukan Indonesia Islam yang berambisi Arabisasi. Wallahu A’lam Bi-Showab.

Finished on 21 Mei 2007.



[1] Disini penulis tidak mengutarakan nama organisasinya guna menjaga dari perpecahan dan juga kurang etis, tapi kalau pembaca bisa kritis dalam melihat fenomena yang tengah berjalan di kediri dewasa ini Penulis yakin nama organisasi tersebut akan ketahuan.

[2] Kala itu terpilih 6 orang sebagai panitia musyawarah sekaligus kandidat kholifah. Mereka ditunjuk oleh Sayidina Umar Bin Khottob sendiri. Termasuk didalamnya ialah Sayidina Utsman dan Ali dan kemudian menurut kesepakatan yang jadi naik tahta kekholifahan adalah sayidina utsman. .

Kamis, 22 November 2007

Kearifan Lokal : kemanakah sinar budaya dan tradisiku kini ?


(Sebuah Jeritan putra bumi pertiwi yang mulai tidak mengenal wajah ibu pertiwinya)

Jawa, secara geografis, adalah salah satu nama pulau dan suku terbesar di Indonesia, terlepas orang-orang Jakarta dan sekitarnya menganggapnya beda, mereka pada umumnya menganggap jawa secara geografis ialah daerah jawa tengah dan jawa timur. Terlepas dengan anggapan itu semua bahwa dalam kenyataannya jawa adalah sebagaimana yang dipahami oleh comansense, yaitu nama suku dan pulau jawa itu sendiri.

Kemudian karena suku jawa adalah suku yang dominan di negeri ini maka maju mundurnya negeri ini ialah tergantung pada maju mundurnya orang jawa dalam segi SDM-nya, baik yang bersifat lahiriyah (material) maupun batiniyah (spiritual), dan pastinya hal ini tidak mengesampingkan keterlibatan suku-suku yang lainnya. Kenapa orang jawa lebih ditekankan disini, karena selain kwantitasnya yang besar juga karena posisinya yang strategis karena secara geografis dekat dengan pusat kepemerintahan. Maka dari itu orang jawa mempunyai prioritas tinggi dalam menentukan maju mundurnya negri ini.

Sedang secara politis kebudayaan, jawa adalah nama dari sebuah peradaban yang telah muncul di Indonesia dengan standarisasi atau karakter-karakter tertentu yang kemudian dibakukan menjadi sebuah aturan nilai-nilai yang terangkum dan include dalam tradisi dan budaya jawa. Arti yang terakhir ini ialah sudah melampaui batas-batas geografis. Dalam arti tidak harus orang yang lahir dari keturunan jawa saja yang bias dikatakan jawa, tetapi orang diluar suku jawa yang berprilaku sebagimana yang telah ditetapkan pada nilai-nilai yang diakui jawa bias dikategorikan didalamnya dan begitupun sebaliknya. Semisal terdapat orang yang secara geografis dan suku adalah jawa, namun dalam tingkah laku kesehariannya tidak sesuai dengan nilai-nilai jawa, maka dari itu orang yang seperti itu sering dikatakan orang yang ora jawani, artinya orang jawa yang tidak seperti orang jawa atau the other.

Memang, menurut sepengetahuan penulis, jawa dalam arti politis kebudayaan adalah sebuah kumpulan nilai-nilai adiluhung yang tercipta dari olah cipta, rasa dan karya orang-orang jawa dulu (secara geografis dan suku) dalam memahami makna kehidupan yang diperuntukkan bagi keselarasan kehidupan. Baik yang berkenaan dengan jalur ke Tuhan (Vertikal), antar manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam sekitarnya (Horizontal). Mungkin kalau dalam istilah islamnya adalah keselarasan antara Hablu Minallah, Hablu Minannas, dan Hablu Minal Alam. Dan di titik inilah, yang menurut hemat penulis, hal yang sangat berarti dan penting yang terdapat pada nilai-nilai jawa.

Namun, semua itu kini seakan tinggal kenangan dan menjadi sejarah belaka. Disana sini banyak terjadi ketidakseimbangan. Semisal terjadinya bentrok antar agama, antar aliran, eksploitasi SDA secara besar-besaran dan yang sejenis lainnya. Hal ini bisa terjadi tidak lain disebabkan oleh hilangnya nilai-nilai adiluhung jawa pada hati sanubari masyarakat jawa itu sendiri. Sebagimana yang telah diterangkan diatas, bahwa orang jawa, dengan nilai ke-jawaan-nya, ialah orang yang penuh sopan santun, gotong royong, tepo seliro, toleransi, pluralisme dan mendasarkan diri pada keseimbangan hidup. Namun dalam realita yang terjadi dewasa ini, orang jawa lebih cenderung bersikap berbalik dengan nilai-nilai tradisi dan budayanya. Mereka lebih cenderung bersikap Individualis, mudah terprofokasi dan juga fanatic sempit.

Kemudian kenapa nilai-nilai adiluhung jawa tersebut bisa hilang sirna dari jiwa orang jawa ?, inilah pertanyaan penting yang harus kita pecahkan dengan pemikiran yang mendalam. Menurut hemat penulis, semua itu terjadi dikarenakan adanya ekspansi budaya-budaya baru (Arab dan Eropa (Barat) pada budaya dan tradisi jawa. Disamping itu orang-orang jawa juga kurang mampu dalam mem-filter-nya. Mana yang sesuai tradisi dan kebudayaannya dan mana yang tidak, mana yang mashlahah dan mana yang mudlorot. Sikap seperti ini akan membuat orang jawa tercerabut dari historisnya (incontinuitas) yang kemudian akan lupa dengan jati dirinya yang sebenarnya tidak kalah dengan apa yang telah dibawa dan dikampayekan oleh budaya asing. Hal ini sudah jelas apa yang akan terjadi pada orang jawa, mereka akan hancur, karena sudah tidak mempunyai akar histories, dan juga akan menjadi consumeris yang selalu dikondisikan oleh pihak yang berkepentingan didalamnya (baca : Timur Tengah dan Barat). Mungkin disinilah konsep pribumisasi-nya Gus Dur dan konsep Tajdidu at Turast- nya Hasan hanafi mendapatkan tempat dan perannya. Konsep kedua tokoh ini membahas dan memberikan metode pemahaman baru terhadap kita dalam memahami dan menerima hal yang kita anggap baru (budaya atau tradisi). Hal ini diharapkan supaya kita tidak terjerumus dan terjebak pada salah satu dari dua lubang yang sama-sama naifnya, yaitu pada lubang fanatism of tradition, dan/atau pada lubang yang terseret oleh modernisasi (arabisasi dan westernisasi). Lebih jelasnya, inti kedua konsep tersebut ialah sebagaimana adagium yang telah dijadikan pegangan oleh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar Indonesia, Nahdlotul Oelama meskipun secara praxis belum terlaksana sepenuhnya, adagium tersebut ialah Al Muhafadzotu Min Qodimi as Sholih wal Akhdu bil Jadidi al Aslah, artinya menjaga tradisi lama yang masih baik dan menerima/mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Selain itu, karena adanya ekspansi budaya asing dan ketidakmampuan orang jawa dalam mem-filter nya, sebab-musabab hilangnya tradisi dan kebudayaan jawa ialah karena bergesernya orientasi paradigma orang jawa dalam memandang dunianya. Yang awalnya paradigma orang jawa, sebagimana karakter budaya dan tradisi jawa, berpangkal pada paradigma yang berorientasi pada monisme dualistic, yakni meyakini domain batiniyah dan lahiriyah yang menyatu dalam kesatuan yang seimbang yaitu Tuhan, berubah menjadi paradigma yang berorentasi pada monisme materialistic yang mendasarkan semuanya pada hitungan materi sebagaimana karakter budaya Barat. Paradigma yang terakhir ini ialah kurang menghiraukan pada yang namanya nilai, dan sifatnya cenderung individualistic. Maka dari itu jangan heran kalau orang jawa dewasa ini banyak yang tidak menghiraukan saudaranya yang sedang menahan sakit karena kelaparan atau menangis karena terjepit oleh perekonomiannya.

Dari beberapa ulasan diatas maka bias diartikan bahwa, orang jawa dewasa ini sudah lemah dalam SDM-nya, terutama pada domain spitual-nya (baca : nilai-nilai tradisinya), dan juga sudah mengalami pergeseran paradigma. Orang jawa dewasa ini lebih suka menjadi budak dari dari orang ketiga (Timur Tengah dan Barat) dari pada menjadi raja di rumahnya sendiri (baca : berdiri dan berkembang di atas tradisi dan budayanya sendiri). Maka dari itu jangan heran kalau saja Negara kita ini sulit keluar dari multi-krisis dan juga menjadi mainan Negara dunia pertama..!

Selain itu maksud penulisan artikel pada kesempatan kali ini ialah, menunjukkan pada kita bahwa :

1. Dewasa ini nilai-nilai adiluhung yang telah ditorehkan oleh nenek moyang kita telah mulai memasuki atau bahkan sudah memasuki liang lahatnya,

2. Mengingatkan kita pada bahaya yang telah mengintai dan menjajah tradisi dan kebudayaan kita, yaitu arabisasi dan westernisasi (Timur Tengah dan Barat).

3. Kita harus pandai-pandai mem-filter tradisi dan budaya asing yang datang pada kita. Dan,

Maka dari itu kita yang nota bene-nya sebagai calon seorang pendidik sekaligus penerus bangsa pada masa depan, harus berusaha menghalau tantangan inidan juga harus mengembalikan nilai-nilai adiluhung kita yang telah mulai pudar dari jiwa masyarakat kita, entah bagaimanapun caranya, sebab ini adalah tugas yang harus kita emban.

Mampu dan sanggupkah kita ?

Aly Masyhar, 10 Nov 07.