Jumat, 29 Agustus 2008

Mahasiswa ‘Copy Paste’


By, Aly Masyhar

Melihat fenomena atau realita yang terjadi di dunia pendidikan, terutama dunia kemahasiswaan, maka kita akan menemui banyak mahasiswa yang hanya bias ngomong dan ngomong saja, dalam prakteknya nol. Dan yang sangat menarik lagi ialah apa yang mereka bicarakan dan omongkan adalah seragam. Terlepas keseragaman tersebut dalam hal pola pikirnya, gaya bicaranya, maupun objek yang dibicarakannya. Mereka melakukan hal itu bagai paduan suara yang selalu mengikuti aba-aba pemimpinnya.

Dengan kenyataan yang seperti ini, maka bias diambil kesimpulan bahwa mahasiswa dewasa ini mengalami krisis intelektual dan kreatifitas. Sebab, apa yang mereka pikirkan, yang mereka bayangkan dan yang mereka bicarakan sejatinya bukan apa yang mereka pikirkan maupun yang mereka bayangkan. Singkatnya mereka hanya menjadi kepanjangan lidah atau copian dari seseorang atau lembaga yang menghegemoni kesadarannya. Mereka tidak mempunyai konsep atau teori sendiri. Bisanya hanya mem-beo dan mem-bebek saja.

Contoh yang lainnya ialah bias kita lihat dari fenomena ketika para mahasiswa itu menjadi kepanitiaan suatu acara atau pelatihan. Mereka kelabakan atau tidak mampu mengerjakan sesuatu tanpa ada dokumentasi-dokumentasi dari kepanitiaan sebelumnya. Mereka menggantungkan pada dokumentasi-dokumentasi tersebut dan tidak mau berkreasi sendiri. Kemudian pertanyaannya ialah kenapa hal ini bias terjadi?, dan apa akibat yang akan ditimbulkan darinya ?.

Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, maka bias kita lihat dari pola pengajaran dan pengkaderan yang diselenggarakan kepada mereka. Menurut penulis, hal itu bias terjadi karena pola pengajaran dan pengkaderan yang dipakai ialah system top down, system yang berangkat dari atas (baca: birokrat akademik dan pengurus-pengurus BEM maupun Ekstra) dan tanpa melibatkan atau memperhatikan kebutuhan maupun potensi kader/mahasiswa. System ini memaksakan kehendaknya dan memangkas kreatifitas-kreatifitas yang dimiliki oleh mahasiswa/kadernya. Meminjam istilah focoult, proses ini dikenal dengan proses pendisiplinan. Proses-proses tersebut di desain oleh atasan sedemikian rupa untuk mendisiplinkan bawahannya. Umumnya pendisiplinan ini dikategorikan atau ditopang oleh prosedur-prosedur yang dianggap ‘ilmiah’, dan umumnya lagi hokum-hukum tersebut diberi jubah ‘memanusiakan’. Dalam arti, secara verbal terlihat membantu dan mendidik, namun secara ideologis terdapat konstelasi dan kontestasi kekuasaan yang sangat mematikan, yakni mematikan sifat kreatif dan eksploratif mahasiswa/kader, jika dalam hal ini kita meminjam istilah tokoh kritikus pendidikan sekaligus Pastor yang rela hidup miskin dan bertemankan orang-orang kumal di bantaran Kali Code Jawa Tengah, YB. Mangunwijaya. Pr.

Kemudian akibat yang akan ditimbulkan dengan perilaku tersebut ialah tercerabutnya siswa/mahasiswa dari dirinya dan lingkungannya. Yang pertama ia akan menjadi seseorang yang bermental mekanik, yakni mereka hanya mampu untuk meniru sesuatu alias tidak bias melakukan suatu hal jika hal itu tidak ada contoh yang persis dengannya. Hal inilah yang menurut tokoh fenomenal Madzhab Fanfurt generasi kedua, Jurgen Habermas, disebut sebagai seseorang yang mempunyai rasio instrumental/mekanik. Dalam arti, rasio tersebut hanya berjalan searah dari Subjek ke Objek. Menurutnya, hubungan yang seharusya terjadi disini ialah hubungan dua arah yaitu dari Subjek ke Objek dan Objek ke Subjek, atau ia sebut dengan hubungan dialogis-komunikatif-kritis antar keduannya.

Kemudian yang kedua, yakni tercerabut dari kemasyarakatannya, akan membuat siswa/mahasiswa/kader mati di dalamnya. Dalam arti mereka tidak akan mampu untuk bersosialisasi dan beradaptasi dengan masyarakat berdasarkan apa yang mereka miliki. Sebab, apa yang mereka miliki hanya sebuah kopian tanpa makna. Misalnya, jika nanti setelah mahasiswa/kader itu pulang ke kampungnya masing-masing, dan ketika itu mereka diminta untuk menjadi kepanitiaan sebuah acara dengan tanpa ada dokumentasi, maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Sebab, kebiasaan atau pengkaderan yang dilakukan hanya bagaimana meng-copy paste dari dokumentasi. “Apakah nanti mereka disuruh membawa semua dokumentasi kepanitiaan semasa mereka kuliah?, bulshit….?!

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi hal itu semua?, mari kita cari jawabannya bersama-sama…!?