Minggu, 16 Desember 2007

Sang Pemimpin Harus Berada di Bawah Kaki Rakyatnya !


“Tasharufu al imam ‘ala ro’iyatihi manuthun bil mashlahah”

Tashorufnya seorang pemimpin tergantung atau berdasarkan pada kesejahteraan rakyat yang dipimpinya (adagium qoidah fiqih)

Aly Masyhar*

Text Box: Ketika palu penetapan sebuah kekuasaan dibunyikan, maka pada saat itulah amanah yang diberikan harus dipikulnya. Dan saat itu pula dia menjadi seorang pemimpin bagi dirinya, organ-organ organisasinya dan rakyatnya. Hal ini jika dikaitkan dengan domain kekuasaan, baik Negara maupun sebuah organisasi. Oleh karena dia menjadi seorang pemimpin tersebut, maka dia harus bisa mulai membuang seluruh kaca mata rasis dan etnisnya. Dengan arti dia harus komprehensif dalam memandang sesuatu yang dia hadapi, tidak boleh memihak salah satunya.

Dengan itu maka seorang pemimpin tersebut baru bisa dikatakan dia telah melakukan adagium yang sering di kutip dan juga telah lama dirumuskan oleh para ulama fiqih sebagaimana yang telah kami cantumkan di atas. Dan memang seperti yang terumuskan dalam adagium qowaidul fiqhiyah itulah substansi tujuan diadakan dan dipilihnya seorang pemimpin dalam suatu komunitas organisasi. Konsekwensinya, jika seorang pemimpin sudah tidak sejalan dengan adagium di atas, maka dia sudah tidak layak menjadi dan disebut sebagai pemimpin. Wal hasil maka dia harus rela dan legowo jika nantinya diturunkan oleh rakyatnya ditengah-tengah masa jabatannya. Dan pastinya dasar yang digunakan juga harus jelas pula, supaya tidak terjadi penghakiman yang nista.

Mengingat hal ini, penulis ingat dengan pengorbanan dan ketabahan Nabi Ibrahim As beserta anaknya, Nabi Isma'il As., yang sejarahnya kita kenang hingga sekarang dengan bungkus ritual I'dul Qurban (I'dul Adlha), disitu, Nabi ibrahim As. Harus rela anak satu-satunya disembelih, hal ini ia lakukan karena perintah Allah SWT., kita tahu bahwa , Nabi Ibrahim sangat menyayanginya, sebab, selain dia adalah anak satu-satunya, nabi Ibrahim kala itu juga sudah masuk usia senja, yang menurut akal tidak mungkin mempunyai anak lagi. Kendatipun demikian, karena hal itu adalah perintah Allah, Nabi Ibrahim As., begitupun Nabi Isma'il As., tetap melaksanakannya meskipun dengan hati yang berat.

Kemudian hal kesamaannya dengan pembahasan awal ialah, pertama, kedua-duanya (Nabi Ibrahim As. dan pemimpin) sama mendapat amanah yang sangat berat. Nabi Ibrahim mendapat amanah untuk menyembelih anaknya, sedangkan sang pemimpin mendapat amanah untuk memimpin umatnya dengan cara yang komprehensif. Kedua, Nabi Ismail As, mau tidak mau dia harus rela dan pasrah menyerahkan nyawanya diminta oleh sang empu-nya, Allah SWT., dan begitupun seharusnya seorang pemimpin, dia harus rela jika suatu saat jabatannya diminta kembali (dilengserkan) oleh empu-nya juga, Rakyat. Wallahu a'lam bi shohihi hikmatihi.

Dalam pembahasan di atas, terdapat permasalahan yang sering muncul dan diperebutkan definisinya, yaitu masalah Maslahah Al 'Ammah (kesejahteraan rakyat) itu sendiri. Di sinilah sebenarnya tonggak awal sering terjadinya perbedaan yang kemudian menimbulkan penilaian negatif terhadap pemimpinnya dan kadang ber-Ending pada perpecahan dan kehancuran. Maka dari itu perlu kiranya kita mencari kefahaman bersama tentangnya jika kita menginginkan sebuah keharmonisan dan kesejahteraan bersama yang hakiki dalam berorganisasi maupun bernegara. Kalau kita selalu mengikutkan ego dan perspektif kita masing-masing, maka mustahil adanya akan mendapatkan kesejahteraan bersama sebagaimana yang sudah lama menjadi impian kita bersama tersebut, yang muncul ialah sebaliknya, saling klaim dan saling menghancurkan satu sama lainnya. Dalam hati, penulis yakin pastinya kita tidak menginginkan hal itu, iya kan ?

Sebagaimana yang diutarakan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam salah satu bukunya yang berjudul Islamku, , Islam Anda, Islam Kita, Kesejahteraan umum ialah terpenuhinya semua hak rakyat yang dipimpinya, baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi, hokum, hingga kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Hal ini terlepas dengan menggunakan system apa pemimpin tersebut mampu mewujudkannya. System imperium katakanlah, yang cenderung dictator, kalau mampu mewujudkan misi tersebut tidak masalah kata mantan ketua PBNU sebelum K.H. Hasyim Muzadi tersebut. Masih dalam koredor pendapat Gus Dur, bahwa sebenarnya islam tidak memerintah ataupun menolak sebuah system apapun dalam bernegara atau berorganisasi, namun yang diperintahkan islam ialah bagaimana seorang pemimpin tersebut mampu mewujudkan maslahah ‘ammah bagi rakyat yang dipimpinya, sebab disinilah substansi keberadaannya.

Sulit memang menjadi pemimpin se-ideal sebagimana di atas, sebab ia harus bergesekan dan berbenturan dengan tradisi 'timbal balik' yang telah mengakar dan bahkan sudah mendarah daging di negeri kita. Hal ini terkait dengan keharusan seorang pemimpin untuk membuang jauh-jauh kaca mata rasis dan etnisnya.

Untuk mempermudah pemahaman terma 'timbal balik' tersebut, di sini kami misalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia di antarkan ketampuk kekuasaan kepresidenan oleh gerbong partai politik Demokrat, setelah dia berhasil jadi presiden, maka dia harus memberikan hak prevellis kepada birokrat-birokrat atau partai Demokrat tersebut, bahkan, yang sangat ironis, ketika akan mengambil suatu kebijakan yan berkenaan dengan masalah public dia harus sowan ke partai meminta pendapat, dan pastinya kebijakan tersebut dilihat terlebih dahulu bahwa memihak pada kepentingan mereka atau tidak. Kalau sesuai diizinkan kalau tidak ya ..di delete. Hal ini tanpa melihat kebijakan tersebut untuk kepentingan umum atau tidak. Kemudian kalau kita sejajarkan dengan adagium qowaidul fiqhiyah “tashorufu al imam ‘ala ro’iyatihi manuthun bil mashlahah”, maka missal tersebut sudah tidak sejalan, yang pertama menitik beratkan pada kepentingan umum dan yang kedua mementingkan kepentingan golongan. Dengan arti, seorang pemimpin harus berani melepas ikatan-ikatan tersebut dan mendudukkan rakyatnya pada timbangan yang sama, terlepas mereka berasal dari golongannya atau bukan.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus dengan lapang dada menerima kritik-kritik yang datang dari rakyat yang dipimpinya, , baik kritik yang dilontarkanya tersebut ialah kritik yang membangun atau tidak. Sebab, kalau kita mau teliti, semua kritik yang dilontarkan oleh orang lain kepada kita ialah koreksi bagi perbuatan kita. Sebagimana yang di telah diyakini oleh kaum haqiqiyah, bahwa semua yang muncul dihadapan kita ialah sebuah kemunculan dari diri kita sendiri. Dalam arti semua kejadian tersebuat ialah sebab musabab perbuatan kita. Baik itu yang bersifat pembalasan maupun pengingatan Tuhan bagi kita.

Di samping dipihak pemimpin harus sebagimana diutarakan diatas, kalau kita menginginksn keharmonisan dan kesejahteraan di organisasi atau Negara kita tercapai, pihak rakyat juga harus tahu dan memenuhi semua kewajibannya. Dengan arti rakyat tidak hanya melulu menuntut haknya namun juga harus mengimbangi dengan memenuhi semua kewajibannya. Semisal dalam organisasi kampus Tribakti, seluruh pengurus OMAK, baik pengurus BEM-F, BEM-I, UKM, MPM maupun pengurus tingkat KOSMA, harus mengarahkan seluruh kebijakannya kepada kepentingan Mahasiswa yang dipimpinya tanpa melihat dari mana dan apa bigronnya, selagi dia adalah mahasiswa Tribakti, maka dia berhak mendapatkan haknya sebagai mahasiswa. Begitu juga, pihak mahasiswa juga harus memenuhi kewajibannya, antara lain yaitu mengikuti semua kegiatan yang diadakan oleh pihak pengurus OMAK (Organisasi Mahasiswa dan Kemahasiswaan) Tribakti tersebut. Hal ini sebagimana timbal- baliknya Nabi ibrahim dengan Tuhan-nya, Allah SWT. Nabi Ibrahim As meminta anak Allah ijabahi, kemudian Allah meminta menyembelih anaknya itu Nabi Ibrahim As. juga melaksanakannya.

Dari seluruh ulasan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kalau kita menginginkan keharmonisan dan kesejahteraan rakyat (mahasiswa) bisa tercapai sebagimana yang kita impikan, maka antar kedua pihak, Pemimpin dan Rakyat, harus bisa memenuhi semua hak dan kewajibannya. Dan hal ini akan sulit terwujud jika antar keduanya masih belum bisa membuang jauh-jauh kaca mata rasis dan politisnya. wallahu A'lam bis showab

Mampukah kita ?

Wallahu Istaqimna Waqwiina Amin.

Written on Jum'at 23 November 2007

* Wapres BEM-I IAIT, dan mahasiswa , meskipun masih malu disebut dengan sebutan itu karena merasa tidak pantas menyandangnya, semester VII fak. Tarbiyah.

Tidak ada komentar: