Minggu, 16 Desember 2007

DUA PARADIGMA POLITIK DI INDONESIA


Isu formalisme syari’at islam yang tetap hangat hingga kini sebenarnya bukan hal asing lagi di negri Indonesia kita ini. Mulai dari awal berdirinya Negara, isu ingin menjadikan syari’at islam sebagai dasar Negara sudah banyak muncul. Hal ini ditandai dengan adanya piagam Jakarta yang disitu mencantumkan kewajiban melakukan syari’at islam bagi yang muslim dan juga ditandai dengan ngototnya DI/TII pimpinan kartosuwiryo, Permesta pimpinan Kahar Muzakkar dan ormas-ormas senada lainnya pada waktu itu. Kesemuannya tadi menginginkan syari’at islam menjadi dasar Negara dan menolak pancasila. Kemudian golongan inilah yang nantinya disebut dengan aliran politik yang menggunakan paradigma Eksekutif-Formalistik. Paradigma yang mempunyai keyakinan bahwa islam adalah ad Din wa ad Daulah, islam sudah mengatur segalannya, baik dari segi prilaku hingga ke permasalahan politik (Negara). Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah Negara yang berbentuk kekholifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di madinah dan juga para khulafaurrosyidin pada kurun setelahnya..

Di samping paradigma ini, paradigma Eksekutif Formalistik, lahir juga paradigma antitesanya, yaitu paradigma Substantif Inklusifistik. Yang terakhir ini menginginkan substansi dari syari’at islam yang diberlakukan, bukanya memformalkannya. Dengan kata lain yang diambil dan diberlakukan di Indonesia ini hanya inti kandungan syari’atnya saja (Kepemerintahan).

Kemudian Bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at islam, paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada system kulturalisasi, biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui pensisteman sebagaimana yang di perjuangkan oleh kaum Eksekutif Formalistik. Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom Up, berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma Eksekutif Formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem Negara. Yang terakhir ini Semisal dengan adanya Perda tentang Pornografi, Berkewajiban menggunakan jilbab dan belajar al-Qur’an yang telah terjadi di propinsi Banten, sebagian daerah di Sumatra dan baru-baru ini di Kediri juga muncul isu sebagimana diatas yang diprakarsai oleh salah satu organisasi kemahasiswaan[1].

Dari uraian diatas maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, namun sebelumnya kami tegaskan bahwa penulis berada dipihak Paradigma Substantif – Inklusifistik, jadi perspektif yang kami gunakan tidak jauh dari keperpihakan kami.pertanyaan-pertanyaan antara lain yaitu Pertama, Sebenarnya efek apa yang akan ditimbulkan oleh adanya formalisasi syari’at islam dalam system Negara ?. Kedua, Menurut perspekrif paradigma Substantif-Inklusif, siapa yang akan mengurus masalah agama ? dan Apa tugas pemerintah dalam hubungan ini ?

Sebenarnya efek apa yang akan ditimbulkan oleh formalisasi syari’at islam ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Negara Indonesia kita ini adalah Negara hokum, bukannya Negara Islam. Selain itu masyarakat yang hidup didalamnyapun adalah majmuk, baik dari segi budaya, adat istiadat maupun agama dan keyakinan. Maka dari itu jika saja salah satu hokum yang dipunyai salah satu agama diantara agama-agama tersebut dijadikan dasar Negara, maka dengan pastinya umat agama-agama yang lainnya akan menjadi masyarakat nomer dua dan umat dari agama yang diambil dijadikan dasar Negara akan menjadi umat yang mendapatkan hak prefelis dan juga akan terjadi dominasi baik agama, golongan maupun aliran yang sarat dengan penghakiman pada yang lainnya. Siapa yang memegang kekuasaan, maka agama atau aliran yang mereka anutlah yang benar. Yang bertentangan dengan itu dianggap salah. Ingin lebih jelas dan contoh tentang masalah hal ini bisa kita lihat sejarah islam pada masa dinasti Umaiyyah atau Abassyiyah..

Selain itu, menurut jumhur ulama’ termasuk didalamnya Ibnu Taimiyah, menyatakan bahwa dalam islampun ternyata tidak ada dalil sorih yang menunjukkan pada kewajiban mendirikan sebuah bentuk Negara (Kholifah). Yang ada adalah bagaimana syari’at islam tersebut bisa terlaksana tanpa ada kekangan. Memang, dari telusuran histories, Nabi pernah mempraktekkan sebuah system kepemerintahan yang berbentuk kekholifahan di Madinah dan diteruskan oleh empat shohabat setelahnya, namun kalau kita telususri lebih dalam ternyata tujuan atau substansi dari pendirian kepemerintahan itu adalah bukan Negara itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana peradaban umat islam kala itu bias maju dan juga, masih dalam tataran histories, pada masa khulafaurrasyidin system kepemerintahannya anatra periode satu kholifah dengan yang lainnya tidak persis sama, tetap ada perbedaan. Semisal system pemilihan kholifah, pada masa pengangkatan Abu Bakar menggunakan system musyawarah, pada masa pengangkatan Umar Bin Khottob menggunakan system penunjukan dan pada masa pengangkatan Utsman bin Affan menggunakan system Pansus (Musyawarah Perwakilan[2]). Maka dari itu kesimpulannya adalah bukan pembuatan Negara yang wajib dilakukan, namun lebih pada bagaimana membuat keadaan umat islam bias lebih maju. dan hidup sejahtera.

Menurut perspektif paradigma Substantif-Inklusif, siapa yang bertugas untuk menjaga keberlangsungan syariat kalau bukan Negara ?

Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif, bahwa urusan agama biarlah berjalan secara cultural, maka yang bertugas menjaga keberlangsungan syari’at islam adalah umat islam itu sendiri, terutama para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya. Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri dan ulamanya, bukan orang lain !, apalagi Negara !, selain ia tidak bertatap muka secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan individu dan golongan.

Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagi penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain Negara hanya mengurus Sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan public saja, bukan ikut campur dalam masalah prifat.

Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif dalam hubungan Agama dengan Negara adalah bagaimana antara Ulama dan Pemerintah (Agama dan Negara) bias saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurus bagaimana moral umat/rakyat baik, kemudian pemerintah mengurus dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bias tercapai. Kemudian Kalaupun memang pemerintah terpaksa harus menggunakan suatu aturan/hokum dalam mewujudkan tugasnya tersebut, maka aturan/hokum tersebut harus didasarkan pada kesepakatan dan historisitas Negara Indonesia. Istilah ini kalau dihubungkan dengan islam adalah sering diistilahkan dengan istilah Islam Indonesia, bukan Indonesia Islam yang berambisi Arabisasi. Wallahu A’lam Bi-Showab.

Finished on 21 Mei 2007.



[1] Disini penulis tidak mengutarakan nama organisasinya guna menjaga dari perpecahan dan juga kurang etis, tapi kalau pembaca bisa kritis dalam melihat fenomena yang tengah berjalan di kediri dewasa ini Penulis yakin nama organisasi tersebut akan ketahuan.

[2] Kala itu terpilih 6 orang sebagai panitia musyawarah sekaligus kandidat kholifah. Mereka ditunjuk oleh Sayidina Umar Bin Khottob sendiri. Termasuk didalamnya ialah Sayidina Utsman dan Ali dan kemudian menurut kesepakatan yang jadi naik tahta kekholifahan adalah sayidina utsman. .

Tidak ada komentar: